“Hai,” sapa seorang cowok pada Viani.
Viani menoleh. Mengernyitkan dahi. Tidak merasa mengenal cowok yang menyapanya. “Maaf, siapa ya?” tanyanya.
Cowok itu terdiam sejenak. Tampak mencari kata-kata yang tepat buat menyatakan diri. “Hmm, anu Kak... perkenalkan, namaku Agus,” jawabnya, sembari menyodorkan tangannya.
“Iya, ada apa ya?” Viani bertanya lagi.
“Ini, hmm... aku cuman mau ngasih ini ke Kakak.”
Agus menyodorkan secarik kertas. Berisi lirik lagu karangannya. Hasil imajinasinya semalam.
“Apa ini?”
“Itu lirik lagu, Kak. Buatanku,” jelas Agus, “Bacalah, Kak. Aku semalaman menulisnya. Lirik itu terinspirasi dari pertemuan-pertemuan kita yang tak sengaja di angkot selama seminggu ini.”
“Pertemuan?” tanya Viani.
“Ya, Kak. Selama seminggu ini, aku selalu ketemu Kakak waktu naik angkot menuju kampus. Setiap kali bertemu, entah kenapa, ada perasaan bahagia di hatiku. Jadi, aku mencurahkan isi hatiku ke lirik itu, Kak,” Agus menjelaskan panjang lebar.
Viani memikirkan kemungkinan lain. Pasalnya, sejauh ingatannya, ia tidak pernah bertemu cowok bernama Agus ini di angkot. Setidaknya, jika pernah, ia tak pernah memperhatikannya.
“Jangan-jangan ia stalker?” pikir Viani berburuk sangka. Ia bergidik memikirkan kemungkinan bahwa Agus adalah stalker jahanam yang mengintilinya kemanapun.
Walau begitu, Viani tak ingin Agus mencurigainya tengah berburuk sangka. Karena itu, diterimanya secarik kertas yang disodorkan Agus. Dan membacanya sekilas.
“Aku udah merekam lagu itu di HP-ku sih, Kak. Cuman diiringi gitar akustik sama chord sederhana. Kakak mau dengar?” Agus menawarkan.
Viani melihat jam di pergelangan tangannya. Ia sebenarnya ingin mengakhiri pembicaraan tidak penting ini sekarang juga. Tapi khawatir Agus tersinggung jika pembicaraan diakhiri begitu saja. Dan cerita pun akan bergulir layaknya film-film bergenre thriller. Dimana, si stalker melakukan hal buruk pada tokoh utama hanya gara-gara persoalan sepele.
“Hmm, boleh deh,” jawab Viani.
Kemudian, Agus mengeluarkan ponsel beserta earphonenya. Ia menyodorkan earphone tersebut pada Viani, lalu menyetelkan rekaman miliknya.
Viani mencoba bersikap sewajar mungkin. Ia tidak mau menunjukkan ekspresi aneh di wajahnya. Dan berharap semua “kenormalan” yang ditunjukkannya akan membuat Agus senang.
“Bagus kok,” kata Viani mengomentari, berbohong. Dalam hati, ia sungguh tidak peduli pada lagu itu.
Senyum di bibir Agus terkembang lebar. “Makasih, Kak.”
Kembali, Viani melihat jam di pergelangan tangannya.
“Kenapa, Kak? Mau ngampus ya?” tanya Agus coba menebak.
Viani mengangguk. “Iya nih. Aku ada kelas. Dosen killer. Nggak boleh terlambat sedikit pun,” Viani menambah-nambahi ucapannya biar bisa pergi dari hadapan Agus secepat mungkin.
“Ya, sudah, silakan, Kak.”
Viani mengembalikan secarik kertas yang diberikan Agus.
“Bawa saja, Kak. Aku punya salinannya.”
Viani tersenyum dan membalikkan tubuhnya. Saat hendak melangkah, Agus memanggilnya, “Kak, nama Kakak siapa?”
“Rinjani,” sahut Viani asal. Emoh memberikan identitas dirinya kepada Agus, walaupun hanya nama.
“Oke. Terus satu lagi Kak.”
“Apa?”
“Boleh minta WA Kakak?” Agus memberanikan diri untuk bertanya.
“Buat apa?”
“Hmm, anu... Aku mau mengembangkan lagu ini. Jadi aku mau memberitahu Kak Rinjani perkembangan lagu ini,” jawab Agus menjelaskan.
“Hilih kintil!” Viani membatin. Malas menanggapi sikap Agus yang terkesan lebay.
“Aku nggak bisa ngasih sekarang. Besok, kalau kita jumpa lagi, aku akan memberikannya,” sahut Viani akhirnya setelah terdiam beberapa detik. Tentu saja, jawaban itu hanyalah pemanis bibir saja.
Dengan senyum canggung, Agus mengiyakan apa yang Viani katakan. Ia percaya besok dirinya akan bertemu Viani lagi.
Cerpen ini bersambung ke Agus (Part 2).
Senin, 29 Juni 2020
Agus (Part 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 $type={blogger}:
Posting Komentar