Cerpen ini sambungan dari Agus (Part 1).
Viani terkejut kala melihat Agus berkeliaran di kampusnya. Dugaan bahwa Agus adalah stalker makin menguat di dalam benaknya.
Ia bersembunyi di balik tembok sembari memperhatikan kelakuan Agus menanyai tiap orang yang berpapasan dengannya. Apakah Agus mencarinya? Viani meyakininya, walaupun belum seratus persen.
Tiba-tiba, sebuah suara mengejutkan dirinya. Ketika menemukan orang yang membuatnya terkejut adalah Disti, sahabatnya, ia pun menghardiknya, “Sialan lo! Bikin kaget orang aja.”
“Kenapa lo?” tanya Disti cengengesan.
Viani meletakkan jari telunjuknya di bibir. Kemudian, ia menoleh ke arah Agus. Khawatir cowok itu mendengar pekikannya barusan. Setelah yakin Agus tidak mendengarnya, ia membisikkan sesuatu di telinga Disti.
“O gitu,” komentar Disti selesai Viani berbisik – perihal Agus.
“Gue kudu gimana, Dis?” Viani sengaja membuat ekspresi wajah masygul, biar sahabatnya itu mau membantunya.
Bohlam di kepala Disti menyala. Ia membisikkan idenya ke telinga Viani. “Gimana, oke kan? ACC dong!” bibir Disti mengembang lebar.
“Oke, sih, tapi...”
“Balik ke lo-nya sih. Kalau nolak juga nggak apa-apa. Gue juga nggak rugi.”
Viani menggigit bibir bawahnya. Berpikir sejenak. Ia tahu ide yang ditawarkan Disti sangat brilian. “Tapi ide itu nggak akan benar-benar terjadi kan?” tanyanya, agak sedikit khawatir.
“Yaelah V. Kagaklah! Daripada lo dikejar-kejar sama cowok nggak jelas macem Agus?”
Akhirnya, dengan berat hati, Viani mengangguk setuju. Ia tak mau cowok tidak jelas semacem Agus datang dalam kehidupannya. Karena itu, ia harus “mengusirnya”.
*
Disti melihat Agus baru saja keluar dari ruang Tata Usaha. Dalam hatinya, ia membatin Agus tipikal cowok gigih. Buktinya, mau mencari gadis yang belum jelas asal-usulnya sampai sejauh ini. Tapi, yah, berhubung Viani tak nyaman dengan hal itu, ya, ia akan bersandiwara sesuai kesepakatannya dengan Viani.
“Halo?” sapa Adisti kala mendekat ke Agus.
Agus menoleh, dan balas menyapanya, “Oiya, halo. Ada apa ya?”
“Hmm... kayaknya kamu lagi kebingungan deh?” Disti mengawali pembicaraan, “Seperti sedang mencari seseorang.”
Agus terdiam.
Disti menjelaskan, “Tadi, nggak sengaja aku dengar obrolanmu sama Bu Atika.”
“Oh, kamu tahu dimana Rinjani?” Agus bertanya dengan antusias.
“Ya, bisa dibilang begitu sih.”
“Terus dia dimana? Aku mau ketemu dia.”
“Oiya, kalau boleh tahu, sebelumnya kenapa mas mencari dia ya?”
Agus menghembuskan napas. Pertanyaan itu lagi! “Nggak apa-apa Kak. Saya cuman mau memberitahukan bahwa lagu yang saya tulis untuknya sudah jadi.”
“Lagu? Lagu apa?” tanya Disti penuh selidik.
“Iya, jadi ceritanya sekitar sebulan lalu aku bertemu dengan Rinjani. Nah saya bertemu selama seminggu penuh di sebuah angkot. Karena aku terpesona dengan kecantikannya, aku terinspirasi membuat lagu,” Agus memberikan penjelasan.
“Mas beneran ketemu Rinjani?”
Agus mengangguk mantap.
“Bagaimana keadaan dia mas?”
“Ya nggak gimana-gimana. Dia sehat, dan cantik. Aku sempat ketemu dia sih dan ngasih tahu soal laguku ini, tapi waktu itu belum jadi sempurna. Ya cuman gitu aja aku nggak sempat ngobrol lama soalnya dia buru-buru pergi. Mungkin ada terlambat masuk kelas.”
“Hmm... boleh kuberitahu mas?”
“Apa tuh?”
“Mbak Rinjani itu sebenarnya sudah meninggal mas?”
“Hah, meninggal?” tanya Agus menaikkan sebelah alisnya, “Masak sih? Aku baru ketemu dia sebulan kemarin lho.”
Disti mengedikkan bahunya, mengaku tak tahu menahu soal itu. Menurut spekulasinya, cewek yang ketemu sama Agus itu bukan Rinjani, atau mungkin itu hantunya.
“Soalnya, udah lama juga sih mas. Sekitar setahunan. Dia meninggal nggak wajar. Dibunuh stalker,” Disti menyindir sosok Agus sebetulnya.
Namun Agus terlanjur mempercayainya. “Anjrit!” makinya pelan, “Tahu begitu, aku emoh nulis lagu itu!”
Tanpa pamit, Agus kemudian meninggal Disti yang masih terpaku di tempatnya menahan tawa.
*
Dari jendela kelas lantai dua, Viani melihat Agus bergegas keluar dari kampusnya.
Di saat bersamaan, Disti masuk ke dalam kelas. Ia menyapa Viani, “Hai, V, sekarang kamu terbebas darinya. Selamanya!”
* Selesai *
0 $type={blogger}:
Posting Komentar