Blog tentang cerita dongeng anak-anak, cerita pendek (cerpen) remaja - dewasa, dan penulis cerita terkemuka di dunia.

Rabu, 15 Juli 2020

Yuli & Kucing-kucing Peliharaannya

“Sst... lihat tuh... tuh...” tunjuk Sofi ke arah seorang wanita bernama Yuli yang sedang asik tertawa sendiri dengan kucing yang terus mengeong di sekelilingnya.

“Grusuk... grusuk!” gerak tubuh Kiki membuat tumbuh-tumbuhan tempat mereka bersembunyi jadi terlihat bergerak-gerak.

“Eh, jangan berisik dong,” Sofi mengingatkan.

Sementara itu, wanita yang mereka amati seketika tampak menghentikan aktivitasnya. Sofi dan Kiki menahan napas. Mereka ketakutan. Namun karena tidak menemukan sumber suara yang mengganggu aktivitasnya, wanita itu pun kembali asik bermain dengan kucing-kucing yang sedang mengelilinginya.

Kiki mengikuti pandangan searah telunjuk Sofi. Di seberang jalan, dilihatnya Yuli sedang asik bermain dengan enam ekor kucing yang terus mengikuti langkah kaki Yuli. “Miaw, miaw, miaw, hihihi...” kekeh Yuli sendirian.

“Lihat deh, sebentar lagi salah satu dari kucing itu akan dimasak di atas kuali itu,” kata Sofi.

Kiki bergidik ngeri. “Ah masa sih, Yuli makan kucing?!” mata Kiki membeliak ngeri.

“Yee, dibilangin nggak percaya. Coba deh tanya Buyung kalau nggak percaya,” tantang Sofi tak mau kalah sembari menyebutkan salah satu teman sekelas yang juga tinggal di sekitar rumah mereka.

Semua orang di sekitar tempat Sofi dan Kiki pasti mengatakan Yuli adalah orang gila. Yuli tinggal di sebuah ruas trotoar yang ada di seberang sungai. Sebagai orang gila, tentunya kehidupan Yuli tidak teratur seperti orang normal pada umumnya, tak punya tempat tinggal, dan hanya sibuk bicara atau tertawa sendirian sepanjang hari.

“Kata Buyung, kalau sore hari, Yuli memang selalu menyalakan api dan kelihatannya sedang memasak air. Terus, salah satu kucingnya itu akan ditangkap dan disembelihnya untuk dimakan. Hiii...” Sofi masih terus meyakinkan Kiki.

Tapi Kiki masih tidak percaya. Soalnya, selama ini Kiki justru tidak menganggap Yuli sebagai orang gila. “Kalau menilai orang jangan dari penampilannya, Ki,” itu nasihat yang Kiki dengar dari mamanya.

Satu hal lagi yang membuat Kiki tidak percaya adalah karena sebenarnya, Kiki sering mendekati Yuli dan memberinya roti. Dan mana ada orang gila yang akan bilang terima kasih setelah diberi makanan, Kiki mengingat kejadian yang dialaminya beberapa waktu yang lalu.

Tak hanya kata terima kasih yang membuat Kiki terkesan, Yuli pun dengan baik hatinya, menurut Kiki, membagi roti yang diperolehnya dengan kucing-kucing peliharaannya.

“Nah, kalau gitu makin menunjukkan kalau cerita Buyung itu ada benarnya kan. Soalnya, pasti kucing-kucing itu sengaja dibuat gemuk terlebih dahulu. Dan nanti kalau sudah gemuk, kucing-kucing itu akan dimakannya!” Sofi mengangguk-angguk yakin akan ucapannya sendiri.

“Aduh, gimana ya Sofi, aku tuh masih nggak percaya sama penilaian kalian tentang Yuli.” Kiki pun menceritakan kembali pengalaman yang pernah ia alami tentang sosok Yuli.

Ternyata, Yuli itu pintar betul bernyanyi laiknya pesinden. Dengan bahasa Sundanya, Kiki pernah terpesona saat Yuli sedang asik bernyanyi sendirian. Tapi nyanyian Yuli waktu itu terlihat pilu. Sembari bersenandung, wajah Yuli terlihat sedih dengan air mata yang menetes di kedua pipinya.

“Mungkin ia ingat keluarganya di Jawa Barat sana. Tuh, kasihan kan,” ujar Kiki.

“Aaah kamu ini, dibilangin nggak percaya banget sih!” Sofi menggerutu kesal. “Sekarang tanya saja ke semua orang, pasti mereka akan bilang kalau Yuli itu orang gila!”

Belum sempat Kiki membantah, tiba-tiba dua gadis cilik yang masih duduk di kelas empat SD ini dikejutkan oleh kedatangan sebuah sedan berplat nomor D yang berhenti di dekat tempat Yuli yang sedang duduk di trotoar. Setelah mobil sedan itu dibuka, turunlah beberapa orang yang tidak dikenal Kiki dan Sofi. Kecuali Pak Joko, ketua RW tempat Kiki dan Sofi tinggal. Sebuah tanda tanya memenuhi kepala Kiki dan Sofi yang membuat mereka justru tidak berani beranjak dari tempat pengintaian mereka.

“Benar ini wanita yang bapak dan ibu cari?” tanya Pak Joko kepada dua wanita dan seorang pria yang kini sudah ada di hadapan Yuli.

“Iya... betul Pak. Ini memang ibu kami,” seru wanita itu gembira, setelah beberapa saat lamanya mengamati wajah Yuli dengan seksama.

Kebalikannya, justru wajah Yuli yang nampak ketakutan. Sembari terisak-isak, Yuli justru menangis ketakutan dan mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri.

“Tunggu Bu, jangan lari... kami janji tidak akan mengulangi sikap kami. Maafkan kami, Bu...” seru salah seorang wanita tersebut sembari bersimpuh di kaki Yuli.

Yuli tak kuasa berlari, lalu ikut bersimpuh memeluk wanita yang memeluk kakinya.

“Hei kalian ini, kenapa bersembunyi di sini?” suara Pak Joko mengejutkan Kiki dan Sofi yang tidak menyadari kalau persembunyian mereka telah diketahui.

“A... e... kami...” Sofi dan Kiki tak bisa berkata-kata.

“Sudah ayo bangun, pulang. Biarkan keluarga yang lama tidak bertemu itu saling melepas rindu,” ujar Pak Joko.

“Jadi benar Pak, itu anak-anak Yuli?”

“Iya, mereka datang dari Bandung. Jadi ceritanya, Yuli itu dulu disia-sia keluarganya sendiri. Makanya, ia minggat ke Bekasi. Kucing-kucing itulah yang menjadi teman Yuli setiap harinya, sebagai pengganti keluarganya. Kasihan ya? Yah, saya sendiri pun pernah berpikiran buruk tentang Yuli,” Pak Joko menundukkan wajah terlihat menyesal.

Sofi dan Kiki saling berpandang-pandangan. “Jadi benar kan Pak kalau Yuli itu tidak makan kucing?” Kiki berucap sembari ingin membuktikan kalau tuduhan orang-orang selama ini tidak benar. [end]

*

Biodata penulis

Nama: Ika Maya Susanti
Blog: ikapunyaberita.wordpress.com (blog sudah dihapus empunya)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar