Blog tentang cerita dongeng anak-anak, cerita pendek (cerpen) remaja - dewasa, dan penulis cerita terkemuka di dunia.

Senin, 13 Juli 2020

Tuan Gukguk

Masih pukul 10 malam kulihat, saat aku melihat jam yang tertempel di atas dashboard mobilku. Kulajukan mobil di atas jalan yang lengang pulang menuju rumah, setelah lembur. Hari ini aku mendapat tambahan pekerjaan dari atasan dengan tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya. Menjengkelkan. Tapi inilah yang terjadi. Pekerjaan itu tiba-tiba saja diberikan padaku. Padahal aku tak tahu menahu tentang pekerjaan ini. Dasar atasan sialan! Aku memaki dalam hati.

Tentu saja dalam hati aku merutuk-rutuk dan membayangkan bagaimana istriku akan bertanya macam-macam ketika sesampainya aku di rumah nanti. Pertanyaan yang membludak seabrek banyaknya. Tak pernah aku pulang sedemikian larut tanpa pemberitahuan apa-apa padanya. Barangkali dia akan mengira aku selingkuh. Belakangan hari ini hubungan kami memang selalu diwarnai cekcok.

Tiba-tiba, entah rasa kantuk sudah demikian menghebat atau karena salah lihat, sebuah lobang hitam muncul di depanku. Sebuah lobang hitam mirip twilight zone. Pertama-tama kecil semakin lama semakin membesar. Berbentuk bulatan berwarna hitam. Kuinjak pedal remku, tapi sepertinya terlambat. Aku dan mobilku sudah keburu masuk terlebih dahulu ke dalam lobang itu. Semuanya berpusing-pusing di dalam. Seperti masuk dalam pusaran angin topan. Aku merasakan mual pada perut, hingga kemudian tak mampu sadarkan diri.

*

Aku menggerakkan tubuhku sedikit demi sedikit. Keadaan sungguh berbeda sekarang. Sangat mencekam. Dengan nuansa yang sangat aneh. Segalanya serba gelap. Hanya ada segaris warna orange di ufuk jauh yang mampu tertangkap mataku. Tetapi di sini, di tempatku berada, keadaan sungguh mengerikan. Gulita memenuhi ruang.

Aku masih duduk dalam mobilku. Save belt masih terpasang di tubuhku. Barangkali save blet ini pula yang menyelamatkanku dari benturan pusingan-pusingan di lobang hitam tadi. Aku membuka pintu mobilku dan keluar. Menocba memeriksa bagian-bagian mobilku. Mungkin saja ada lecet-lecet di mobil kesayanganku, yang dibeli dengan cara kredit dan masih belum terbayar tunggakannya. Kuambil lampu senter di dalam dashboard, kemudian aku keluar. Dan kukelilingi mobil untuk memeriksa setiap bodinya.

Tepat ketika aku sedang mencari-cari bagian yang lecet di mobilku itu. Terdengar suara erangan melengking-lengking memenuhi ruang udara yang mencapai hingga ke gendang ke telingaku. Juga tercium bau anyir darah di hidungku.
Aku tengok kepalaku ke kiri dan ke kanan, mencari-cari di arah mana suara itu berasal. Setelah merasa pasti arah suara berasal dari sebelah kiriku. Segera aku bergerak. Menapak jalan di dalam gelap. Semakin aku melangkah semakin jelas suara itu terdengar. Anyir darah itupun juga semakin jelas menusuk-nusuk hidungku. Aku yakin dengan arahku, aku pun makin mendekat.

*

Dari balik belukar yang tumbuh meliar dengan lebat aku mengintip dengan perlahan betul, supaya tak ketahuan. Aku belum tahu apa yang sedang kucari dan akan kuhadapi saat ini. Setelah mataku berhasil tersembul melebihi sedikit di atas belukar itu, meskipun sama-samar, mataku mampu menangkap apa yang tengah terjadi. Betapa terkejutnya aku ketika segerombolan anjing tengah berkumpul mengerubungi sesuatu. Kupicingkan kedua mataku. Memfokuskan objek yang kuamati.

Apakah sesuatu yang mengerang itu? Tanyaku di dalam hati. Seolah mendengar kata-kata yang kuucapkan di dalam hati tadi. Anjing-anjing yang sedang menggerombol itu menengok ke arahku secara berbarengan. Secepat kilat aku merunduk, menutup mulut rapat-rapat dengan tangan kananku. Setelah beberapa menit tak terjadi apa-apa, aku merasa aman. Kupikir anjing-anjing itu juga tak bakalan sadar dengan keberadaanku di sini. Lagipula mereka melanjutkan lagi aktivitas mereka. Kuketahui itu dari erangan sesuatu yang kembali kudengar.

Aku kembali mengintip. Saat itu baru aku tahu apa yang dikerat oleh anjing-anjing itu. Adalah seorang manusia. Oh, manusia? Batinku berteriak. Itu manusia, yang digigit anjing-anjing itu adalah manusia, kataku pelan. Aku menutupi mulutku sendiri kemudian mundur beberapa langkah ke belakang. Dan aku menginjak sesuatu hingga berbunyi berisik, membuat anjing-anjing itu menengok lagi ke arahku. Kemungkinan besar mereka menyadari di tempatku bersembunyi ada aku. Instingku pun bekerja untuk segera menjauh dari tempat ini sesegera mungkin. Aku berlari menuju mobilku.

Anjing-anjing yang juga mempunyai naluri hewan yang tajam itu kemudian berlari mengejarku. Pikiranku meracau. Bisa mati aku apabila tertangkap oleh mereka. Sudah kulihat buktinya dengan mata kepala sendiri. Manusia yang dikerat-kerat oleh anjing-anjing itu masih hidup, tetapi aku tak melihat secuil daging pun dari tubuh manusia itu, kecuali kerangkanya saja. Sayangnya kecepatan lariku tak mampu menandingi kecepatan lari anjing-anjing. Aku hanya memiliki dua kaki sedangkan anjing memiliki empat kaki. Kecepatan kami tidak sama. Aku lebih lambat. Anjing lebih cepat.

Ketika anjing-anjing tinggal beberapa jangkah saja denganku, langsung anjing-anjing itu menyerang. Membuatku terjerembab jatuh berguling-guling di tanah. Aku dicabik-cabik. Cakar serta taring mereka mengoyak tubuhku. Kupikir tak mungkin melawannya. Tak mungkin bisa melawan segerombolan anjing sebanyak sepuluh ekor jumlahnya. Melawan satu ekorpun aku tak mampu, bagaimana mungkin aku melawan sepuluh ekor sekaligus.

Aku menyerah pasrah. Itu ajaran yang diberikan padaku selama ini. Semua orang yang kukenal juga diajarkan begitu. Pasrah saja menerima takdir dan nasib. Begitupun sekarang, ketika aku digigit anjing, toh aku juga tak bakalan menang. Sudah akhiri saja aku di sini dengan cepat. Aku ingin berhenti di sini. Ini sudah batasku.

Namun, entah dari mana, dalam keadaan yang terkoyak-moyak itu, di dalam kepalaku terpampang jelas gambaran perbedaan antara anjing dengan manusia. Manusia kuat anjing lemah. Pikiran itu membuat semangatku terpompa kembali. Aku harus hidup! Demikian kataku dalam hati, buat apa aku bertahan selama ini, jika aku tak mau memperjuangkan hidupku.

Dengan segala daya yang masih kumiliki, kupusatkan seluruh tenagaku di kepalan tangan kanan. Ketika kekuatan itu sudah terkumpul. Aku langsung menghantam salah satu kepala di antara anjing-anjing yang menyerangku dengan membabi buta. Terjungkal ia menghujam tanah. Membuat ke sembilan anjing lainnya tersadar untuk mundur teratur. Diambilnya beberapa langkah berjarak dari tempatku. Aku berusaha bangkit berdiri.

Kini kami saling berhadap-hadapan. Tubuhku terasa perih semuanya, dipenuhi luka. Pakaianku pun koyak. Darah menetes di mana-mana dari sekujur tubuh. Salah satu mataku menyipit lebam. Anjing-anjing itu masih menggeram menatapku dengan gahar. Sepertinya tak puas. Liur mereka jatuh ke bumi. Aku mengangkat tanganku, menyuruh mereka maju dengan memainkan jari-jemariku. “Majulah anjing sialan!” aku memekik. Tapi tak ada satupun dari mereka yang maju mengikuti instruksiku. Mereka tetap diam di tempat tak bergerak.

Tak berapa lama kemudian anjing-anjing itu membelah. Membuka jalan, entah siapa. Sesosok bayangan hitam berjalan ke depan. Seperti seorang manusia ia tampaknya. Tapi begitu seluruh cahaya tubuhnya mampu kuserap, aku menjadi terkejut. Sesuatu itu bertubuh manusia, tetapi kepalanya kepala anjing. Anjing-anjing yang ada di sekitarnya merebahkan kepala mereka. Menunduk. Mereka menggumamkan sesuatu, yang tertangkap di telingaku dengan bunyi, “Selamat datang, Tuan Gukguk.”

Yang disebut Tuan Gukguk, tersenyum kepadaku. Memperlihatkan barisan giginya yang tajam-tajam. Tanpa basa-basi ia segera berkata, “Aku menyukaimu kawan. Sungguh,” tukasnya, “Kau energik, penuh vitalitas dan berani. Tidak pernah ada orang macam kau di tempat ini.”

“Siapa kau?”

“Seperti yang kau dengar di dalam hatimu. Aku Tuan Gukguk. Majikan anjing-anjing ini.”

Aku diam. Sorot mata Tuan Gukguk demikian tajam menatapku. “Hahaha, kau khawatir ya?” tanyanya langsung ke pokok permasalahan, “Itu terlihat dari wajahmu dan suaramu yang getar.”

“Mau apa kau?”

“Kamu akan mati di sini!” Setelah mengucapkan kata-kata itu Tuan Gukguk mengambil sikap duduk sempurna, selaiknya orang yang bermeditasi. Ia juga menggumamkan kata-kata yang tak terdengar oleh pendengaranku, yang jelas tak sanggup kupahami. Sikap itu diikuti anjing-anjing yang menjadi anak buahnya. Aku tak mengerti mereka menginginkan apa. Tapi aku ingin enyah dari tempat ini.

Kuambil kesempatan ini. Aku membalikkan badan dan berlari sekencang-kencangnya menuju mobil yang kutinggalkan. Segera kuputar kunci mobil dan mobil pun menyala. Lalu kutancap gas sedalam-dalamnya. Aku tak perduli lagi. Jantungku berdegub kencang betul. Mobil melaju serampangan. Aku tak tahu lagi mana arah yang benar. Segalanya begitu absurd di kepalaku. Bagaimana mungkin kejadian tadi benar-benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Aku tak mungkin sudah gila kan, gara-gara pekerjaan yang kian bertambah dan bertumpuk.

Mobil sudah melaju kencang sekali dan mungkin juga sudah jauh, tapi aku tak tahu sudah berada di mana ini. Lobang hitam yang mirip twigliht zone terbuka lagi, sebuah lobang seperti tadi. Aku keluar. Jalanan lengang.

*

Aku sampai rumah. Menggedor pintu yang kemudian dibukakan oleh istriku. Namun betapa terkejutnya aku ketika kulihat Tuan Gukguk ada di rumahku. Duduk bersantai dengan tersenyum. Apa yang ia lakukan?

[Khatam]

0 $type={blogger}:

Posting Komentar