Blog tentang cerita dongeng anak-anak, cerita pendek (cerpen) remaja - dewasa, dan penulis cerita terkemuka di dunia.

Senin, 20 Juli 2020

Bangkitnya Mata Ketiga

"Kau yakin bisa menyetir dalam kondisi seperti itu?" tanyaku pada Jamal yang tengah berada dalam pengaruh alkohol.

"Ah, kau ini kayak nggak kenal aku aja. Sini biar kuceritakan, aku pernah naik motor bareng temanku dalam kondisi teler berat menuju Puncak Pass. Hasilnya apa? Aku baik-baik aja sampai sekarang kan?"

Aku mendengus sebal mendengar cerita Jamal tentang kehebatannya yang janggal itu. Apakah mengendarai motor dalam keadaan mabuk merupakan sebuah kebanggaan? Huh, aneh!

Mau tak mau, aku memberikan ruang bagi Jamal untuk membiarkannya mengendarai mobil sedan miliknya. Andai bisa menyetir, aku akan memaksa untuk tidak membiarkan si b*d*h ini untuk duduk di bangku kemudi.

"Masuklah, Don," ajak Jamal.

Seperti kerbau dicucuk hidung, aku mengikuti apa yang diperintahkan. Aku masuk ke dalam kabin mobil melalui pintu depan sebelah kiri.

Usai mengenakan sabuk pengaman aku melirik ke arah Jamal. Kulihat dia mengerjapkan mata beberapa kali sambil menggelengkan kepala. Aku yakin benar dia tengah berusaha memfokuskan dirinya.

Jamal menatapku sambil nyengir. "Don, let's do this," katanya.

Aku hanya bisa menelan ludah, ketakutan. Perasaanku tidak enak.

Jamal menyalakan mobil, lalu menginjak pedal gas setelah sebelumnya memasukkan perseneling pertama. Mobil pun bergerak perlahan, meninggalkan lokasi parkir sebuah diskotik.

Skittt!!! Baru saja mobil mau bergerak ke jalan secara mendadak Jamal menginjak pedal rem. Mobil berhenti. Aku terkejut sekaligus mengeluh kesakitan karena bagian dadaku tertahan sabuk pengaman. Emosiku naik kumarahi Jamal.

"Gimana sih lu?" pekikku, "Udah puter balik aja. Mobil titipin sini aja. Kita pulang naik taksi online aja!"

Dengan mimik wajah datar, Jamal menanggapi santai luapan emosiku. "Slow man, hehehe!"

"Anj**t, perasaan gua nggak enak nih!"

Tanpa mempertimbangkan keadaanku, Jamal menginjak pedal kopling, lalu menginjak pedal gas lagi. Mobil melaju dengan tenang.

Meskipun rasa khawatirku belum hilang, aku akui Jamal memang piawai mengendarai mobil. Dalam kondisi kena pengaruh alkohol saja dia masih bisa melajukan mobil dengan mulus.

"Lu tadi liat body-nya Kirana nggak? Uh sintal banget. Yah, walaupun tinggi body-nya bukan tipikal gue, tapi wajahnya yang manis begitu..." Jamal memulai percakapan.

Benakku terbayang sosok Kirana. Dan, yah, apa yang dikatakan Jamal itu benar. Aku sampai tak berkedip melihat.

"Kira-kira dia masih perawan nggak ya?" tanyaku polos yang disambut dengan suara tawa Jamal.

"Don, Don, kau ini ada-ada aja. Coba pikir, cowok mana yang tak tergoda dengan cewek cantik? Apalagi ceweknya kerja di diskotik, dekat sama hal-hal yang di luar batas."

Aku bersungut. Ada benarnya juga Jamal.

"Kau jatuh cinta ya sama Kirana?" tanya Jamal tanpa tedeng aling-aling.

Aku merasa apa yang Jamal tuduhan tidak sepenuhnya salah. Memang ada secuil rasa yang tersemat di hati ini saat aku bertemu dengan Kirana sebulan lalu. Tepatnya saat aku dan pria lucknut yang ada di sebelahku menjadi langganan ke diskotik tadi.

"Kenapa kau nggak jawab? Berarti benar ya?" kepala Jamal menoleh ke arahku.

Aku masih diam saja, dan tiba-tiba aku menyadari jika Jamal baru saja menerabas lampu merah. "Mal, lampu merah!"

Spontan Jamal menginjak rem. Mobil berhenti. Dari arah kanan sebuah truk melaju cepat. Terdengar suara klakson angin memecah keheningan malam.

Sayangnya, semua terlalu terlambat, Jamal tak sempat menginjak pedal gas untuk menghindari truk tersebut. Sementara truk itu pun tak bisa menghentikan lajunya walaupun pengemudinya sudah melakukan pengereman.

Dan akhirnya... DUAK!!! Moncong truk menumbuk body mobil dan membuatnya terguling-guling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti dengan posisi terbalik – bagian atap menyentuh aspal dan bagian roda berada di atas.

Aku masih sadarkan diri saat semua itu terjadi. Secara insting, aku merasa harus keluar dari dalam kabin mobil jika ingin selamat dari kecelakaan.

Suasana sekitar kejadian yang tadinya sepi mulai ramai. Suara benturan yang terdengar pasti telah memecah keheningan malam dan pastinya telah mengganggu warga yang sebagian besarnya, mungkin, tengah beristirahat.

Aku melihat Jamal dalam keadaan yang mengerikan. Kepalanya penuh darah. Dan lagi, hoek, perasaan tidak nyaman menjalari hatiku. Posisi Jamal tidak lagi bisa disebut sebagai posisi orang hidup, karena... Aku tak bisa menggambarkannya.

Tak berapa lama kemudian, seseorang membuka pintu mobil. Tak jelas siapa. Kutahu dia memakai seragam. Petugas damkar? Mungkin saja.

"Pisau, pisau!" pekik orang tersebut. Seseorang menyerahkan pisau lipat padanya. Setelah mendapatkannya, dia memasukkan kembali tubuhnya ke dekatku untuk memotong sabuk pengaman yang masih terpasang.

"Ada yang terasa sakit?" tanyanya. Aku menggeleng. "Oke, setelah sabuk pengaman dipotong aku akan membawamu keluar dari mobil ini."

Petugas itu bergerak cepat, memotong sabuk dan menyeretku keluar dari dalam mobil. Beberapa petugas sudah menungguku. Begitu aku berhasil dikeluarkan, mereka segera melakukan pengecekan. Tapi petugas yang tadi mengeluarkanku meminta para petugas medis yang melakukan pengecekan untuk segera mundur, karena ada api.

"Mundur, mundur, ada api awas meledak!"

Para petugas menggotongku dengan tandu dan menjauh dari mobil. Hampir aku lupa bagaimana dengan Jamal? Belum ada jawaban dari pertanyaanku mendadak mobil kami meledak, membuat semua orang menunduk. Setelah itu aku tak mengingat apa-apa.

*

Ketika membuka mata aku berada di ruangan serba putih. Aku yakin jika sekarang berada di rumah sakit, soalnya tercium bau obat-obatan. Seorang perawat muncul dari balik pintu.

"Selamat pagi, Tuan Doni," sapa perawat itu, "Anda sudah siuman rupanya."

"Berapa lama saya tak sadarkan djri?"

"Tiga hari."

Aku mengingat-ingat tentang apa yang terjadi dengan diriku. Sebuah pertanyaan menyeruak tentang kondisi Jamal. Tapi dimana aku harus bertanya?

"Check-up dulu ya, Tuan Doni," kata perawat itu, lagi.

Perawat itu mengeluarkan tensimeter dari kotaknya. Kemudian dia memasangkannya ke lengan kiriku. Saat itu secara tidak sengaja tangannya menyentuh lenganku.

Sebuah gambaran absurd terbayang di benakku. Aku mengernyitkan dahi, karena bayangan yang muncul bukanlah memori dari ingatanku. Itu adalah ingatan Sartika, nama si perawat - aku mengetahui namanya dari nametag seragam yang dia kenakan.

Sembari membiarkan Sartika mengukur tekanan darah, aku memberanikan diri bertanya, "Mbak perawat, namanya Sartika?"

Sartika tersenyum, membenarkan perkataanku.

"Ada yang ingin kutanyakan, apa benar mbak Sartika punya anak perempuan berusia lima tahun. Namanya Elma?"

Sartika berhenti melakukan aktivitas check-up-nya, matanya menatap ke dalam mataku.

"Tuan tahu dari mana?"

Aku menggeleng, memberitahunya bahwa aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu tentang hal itu. "Tiba-tiba terlintas di benakku," kataku.

Usai melakukan pengecekan kondisiku, perawat Sartika meninggalkanku sendirian di ruang perawatan. Aku sendiri masih bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada tubuhku.

Aku menatap cermin. Tampak diantara kedua mataku sebuah mata berwarna biru.

0 $type={blogger}:

Posting Komentar