Blog tentang cerita dongeng anak-anak, cerita pendek (cerpen) remaja - dewasa, dan penulis cerita terkemuka di dunia.

Senin, 06 Juli 2020

Takdir Cinta

“Kamu mau nunggu dimana?” tanya Alex pada Afri.

"Di situ deh, Mas," tunjuk Afri ke sebuah bangku taman yang posisinya berada di tengah-tengah – antara gedung rektorat, perpustakaan, dan tempat parkir.

“Oke. Kamu tunggu sebentar. Ngurus legalisir kayaknya nggak lama kok.” Usai mengucapkan itu, Alex meninggalkan Afri – menuju gedung rektorat mengurus legalisir ijazah.

Sementara, Afri sendiri segera berjalan menuju tempat duduk yang tadi telah ditunjukkannya pada suaminya.

Suasana kampus, angin yang berhembus sepoi-sepoi, taman yang teduh, menciptakan suasana yang asik untuk dinikmati.

Sepasang mahasiswa dan mahasiswi tengah duduk berdua, entah sedang belajar, entah sedang kasmaran.

Tanpa sadar, Afri terkenang cerita lamanya, cerita perpisahan antara dirinya dan cinta pertamanya, Novel. Sebuah kenangan pahit yang sudah dikubur jauh di dalam benaknya.

Perlahan-lahan kepingan-kepingan kenangan yang berserakan itu tersusun rapi kembali.

*

Enam tahun silam, kantin Fakultas Bahasa dan Sastra. Afri dan Novel duduk saling berhadap-hadapan.

Tidak seperti biasa, suasana pertemuan keduanya dipenuhi dengan aura kecanggungan.

Afri bisa merasakannya. Aura berbeda yang diekspresikan Novel – cowok yang sudah dipacarinya selama tiga tahun terakhir ini. 

Apalagi posisi duduk saling berhadapan bukanlah posisi yang biasa mereka lakukan saat bertemu. Mereka biasa duduk bersebelah-sebelahan, sehingga pembicaraan jadi lebih intim dan hangat.

Ini janggal!

Pun begitu, ia enggan memikirkan hal-hal buruk tentang Novel maupun hubungan asmaranya.

“Fri,” kata Novel pelan memecah keheningan diantara mereka.

“Ya, Mas?”

“Hmm... Kayaknya aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita,” Novel mengungkapkan tujuan pertemuannya saat itu langsung.

Deg.

Afri bagaikan disambar petir demi mendengar pernyataan Novel barusan. Perasaannya yang semula tenang langsung bergelombang penuh riak.

Meski begitu, setelah menarik napas panjang dan menghelanya pelan untuk menguasai diri, ia memberanikan diri bertanya, “Maksud Mas Novel gimana, Putus?”

Novel mengangguk pelan, lalu diam lagi. Matanya tak berani menatap mata Afri. Ia memilih menatap gelas es jeruk, seolah-olah ada kalimat yang bisa dicontek untuk memberikan penjelasan kepada Afri.

“Kenapa Mas? Apa ada yang salah denganku? Sebentar lagi tiga tahun hari jadian kita.”

“Nggak, Fri, bukan salahmu. Papa sama Mama membuat keputusan dadakan. Mereka menjodohkanku dengan putri rekan bisnisnya.”

Mata Afri membulat, terkejut dengan informasi itu.

“Kok tiba-tiba? Ada apa? Bukankah sejauh ini orangtua Mas menyukaiku?” Afri menghujani Novel dengan serentetan pertanyaan.

“Ya, itu benar, tapi...”

Afri memotong ucapan Novel, dan bertanya dengan nada menuntut, “Kamu nggak mau memperjuangkanku, Mas? Memperjuangkan cinta kita?”

“Inginku begitu.”

“Tapi kamu nggak berani menentang pendapat orangtuamu, begitukah?” tanya Afri.

Dalam hati, ia memvonis Novel termasuk tipe cowok “lembek” dan pengecut. Hal itu membuat Afri ingin langsung mengenyahkan diri darinya. Sialnya, rasa penasaran tentang apa yang dipikirkan Novel membuatnya tetap bertahan duduk.

“Apa yang terjadi sebenarnya?” gumam Afri, itulah yang mau diketahuinya.

“Aku terpaksa, Fri,” akhirnya Novel membuka suaranya kembali.

Afri diam, supaya Novel terus melanjutkan ceritanya.

“Saat ini orangtuaku bangkrut. Seluruh aset akan disita bank,” Novel melanjutkan ceritanya, “Kabar baiknya, kebangkrutan orangtuaku bisa dicover rekan bisnisnya. Syaratnya, aku menikahi putrinya.”

Afri tertegun mendengar cerita Novel.

Sejauh ini, ia tahu Novel adalah putra seorang pebisnis lokal. Tapi, ia sama sekali tidak tahu jika pebisnis bisa “menjual” anak sendiri demi mengatasi kebangkrutan besar.

Novel tak pernah menceritakan tragedi tersebut, jadi ia terkejut mengenai kabar itu.

“Soal keluargamu, aku turut prihatin, Mas,” ungkap Afri, “Tapi, nggak bisakah kamu mempertimbangkan keputusanmu sekali lagi? Apakah kebersamaan kita selama ini nggak berarti buatmu, Mas? Apakah kamu kamu nggak mau memperjuangkannya? Sudah banyak kenangan yang kita lalui bersama, dan tiba-tiba harus di..."

Afri tak melanjutkan kalimatnya, bulir-bulir air di pelupuk mata yang sedari tadi sudah muncul dan ditahannya mendadak tumpah begitu saja. Deras.

“Tentu saja berarti. Sayangnya ini bukan keputusanku. Ini keputusan mereka, dan aku hanya “korban” dari keputusan itu,” sahut Novel.

Pernyataan Novel membuat Afri berang. “Don't play victim, Mas!” tegas Afri, “Kalau kamu korban, terus aku apa?”

Afri berdiri.

Novel memegang tangan Afri, mencoba menenangkannya.

Tangan Novel ditepis Afri.

“Kamu jahat, Mas!” hardik Afri memancarkan emosi yang mendadak keluar dari dalam lubuk hatinya.

Ia meninggalkan Novel yang masih terpaku di tempat.

Dan sejak itu, ia tak pernah lagi bertemu Novel, bahkan sekadar secuil kabar tidak.

*

Angin sepoi-sepoi masih berhembus. Afri kembali ke kenyataan. Tanpa sengaja, ia lirih berucap, “Di mana kamu, Mas? Aku rindu.”

Usai mengucapkan hal itu, Afri tersadar jika kenangan itu hanyalah akan menjadi kenangan saja. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menepuk-nepuk pipi sendiri supaya pikiran tentang Novel pergi dari benaknya.

“Afri?” terdengar suara cowok yang familiar dari arah belakang Afri.

Spontan Afri menoleh ke belakang. Betapa kaget ia kala menemukan sesosok Novel berdiri sambil tersenyum.

Afri berdiri.

“Mas Novel?” tanyanya, sambil tersenyum canggung.

Novel menghampiri Afri, dan bertanya, “Kamu lagi apa disini?”

“Itu... hmm, nunggu suamiku,” sahut Afri – sebuah jawaban polos yang membuatnya merutuki diri sendiri.

“Oh,” timpal Novel dengan kepala terangguk-angguk.

“Kamu sendiri?” Afri bertanya balik.

“Aku mengantar istri,” sahutnya, lalu menjelaskan, “Adik iparku mau kuliah di sini, jadi aku mengantarnya mendaftar.”

Afri mengangguk-angguk saja. Tentu saja ia tahu jika istri yang dimaksud Novel adalah putri rekan ayah Novel yang memaksa harus putus dengan Novel enam tahun silam.

Mereka terdiam. Tidak tahu harus membicarakan apa.

Novel mengambil duduk di sebelah Afri. “Sudah lama ya, Fri, kita nggak jumpa,” kata Novel membuka obrolan.

“Iya.”

“Berapa tahun ya kita nggak jumpa?”

“Enam, Mas. Enam tahun,” jawab Afri, “Kalau aku nggak salah hitung.”

“Kamu menghitunginya?” Novel menyelidik.

Afri diam.

“Seandainya dulu kita nggak pisah, Fri, mungkin...”

Novel tak melanjutkan kalimatnya. Tampaknya ia memutuskan tidak melanjutkannya.

Rasa penasaran mengenai apa yang mau Novel katakan selanjutnya menggelayuti hati Afri. Namun, ia pun urung meminta Novel mengatakannya.

Ini sudah bukan waktunya!

Nuansa antara Afri dan Novel mendadak aneh, meskipun tidak lama karena suara seorang cewek memanggil nama Novel.

Novel berdiri, dan bertanya pada cewek yang datang menghampirinya, “Sudah selesai?”

Cewek itu mengangguk.

“Terus dimana Niko?”

“Nunggu di parkiran,” sahut cewek itu. Novel mengangguk.

“Oiya, Bun. Kenalin ini Afriyanti, temanku waktu kuliah dulu,” kata Novel memperkenalkan Afri pada cewek itu.

Bibir cewek itu menyunggingkan senyuman, lalu mengulurkan tangannya. Afri menyambut uluran tangannya.

“Ana,” katanya singkat.

“Afriyanti,” sahut Afri, sambil menatap cewek yang ada di hadapannya secara seksama. Cantik.

“Jadi, ini putri rekan bisnis ayah Novel yang dinikahi Mas Novel?” gumam Afri.

Usai perkenalan singkat itu, Novel mengajak Ana pergi.

“Fri, kami duluan ya. Lain waktu, kalau ada jodoh, kita pasti bertemu dan mengobrol lagi,” Novel pamit.

Afri hanya bisa melempar senyum dan anggukan. Kemudian, ia hanya bisa menatap punggung keduanya yang perlahan-lahan menjauh dari hadapannya.

“Sayang...”

Afri menoleh, menemukan Alex sudah ada di sana.

“Mas? Sudah berapa lama disitu?”

“Baru kok,” sahut Alex, “Siapa?”

“Teman kuliah.”

“Ah, masa? Mantan pacarmu kali?” ledek Alex.

“Udah, ah, nggak usah ngomongin itu,” kata Afri sambil menggamit lengan Alex, “Oiya, Mas sebelum pulang, kita mampir di Soto Lamongan langganan kita yuk.”

“Hayuk!”

Afri dan Alex berjalan bersama menuju parkiran. Saat itu, Afri masih terngiang-ngiang pertemuan dengan Novel barusan.

Dalam hati ia berkata, “Aku harus menguatkan hatiku. Jangan ikuti perasaan! Sebab, jalanku dan jalan Mas Novel telah berbeda. Kini, aku harus menjalani hidupku yang indah dengan penuh kebahagiaan bersama Mas Alex.”

[khatam]

Yogyakarta – Bekasi, 2005-2020.

0 $type={blogger}:

Posting Komentar