Blog tentang cerita dongeng anak-anak, cerita pendek (cerpen) remaja - dewasa, dan penulis cerita terkemuka di dunia.

Jumat, 24 Juli 2020

Salah Sangka

“Kamu pikir aku mau kayak gini terus? Capek aku terus-terusan di kondisi ini,” kata Mas Yanto, “Tunggulah Mir. Bersabarlah. Aku sedang berusaha.”

“Ini sudah tahun kedua Mas. Kapan usahamu terlihat? Tolong Mas, cari kerja tetap saja, biar bisa dapat gaji tetap,” kataku menatap Mas Yanto dengan penuh harap.

“Emoh,” sahutnya lagi, “Aku nggak mau punya bos lagi! Lagian kalau mencari kerja itu mudah nggak akan ada pengangguran di negara ini. Aku berangkat.”

Usai mengatakan hal itu, Mas Yanto keluar dari kamar. Dari dalam kudengar suara motornya menyala, lalu menjauh. Meskipun pembicaraan ini sudah sering terjadi, tetap saja tak ada hasil yang bisa didapatkan. Sehingga, aku hanya bisa mengucapkan terus kata “sabar”.

Sudah empat tahun terakhir ini Mas Yanto tidak bekerja tetap. Maksudnya tidak bekerja di sebuah tempat tertentu dengan penghasilan yang tetap. Ia lebih memilih menjadi ojek online. Awal kemunculannya dulu, jenis profesi satu ini menjadi booming, sebab jam kerja lebih fleksibel dan penghasilan besar. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, kedua hal itu makin berkurang.

Setidaknya itulah yang dialami Mas Yanto saat ini. Sudah jam kerjanya tidak fleksibel (cenderung lebih lama), penghasilan yang didapatkannya pun menurun drastis.

Sebagai istri, aku tidak tinggal diam. Aku membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh cuci. Meskipun aku memiliki ijazah SMA, tapi waktuku tidaklah fleksibel karena harus mengurus rumah dan mengasuh putri kecilku.

*

Seperti biasa, pada sore hari ketika mengasuh putriku yang kecil aku keluar rumah. Ketika putri kecilku bermain bersama anak-anak lain satu kontrakan, aku mengobrol dengan para tetangga. Hari ini tanpa sengaja aku menceritakan kondisi perekonomian keluargaku.

“Kondisi ekonomi rumah tanggamu gawat jeng,” seorang tetangga, Risma namanya, mengatakan hal itu padaku.

“Risma betul. Maaf ya jeng, suamimu nggak boleh berlaku kayak begitu. Sebab dia wajib memenuhi kebutuhan lahirmu,” timpah Inyah, tetanggaku juga.

Aku terdiam mendengar pernyataan kedua tetanggaku. Dulu kedua suami Risma dan Inyah sama-sama ojek online seperti suamiku. Tapi, mereka lebih gercep (gerak cepat). Ketika merasa penghasilan ojol tidak mencukupi kebutuhan, mereka melakukan tindakan taktis, yaitu beralih profesi.

Inyah, misalnya, suaminya sekarang dagang cilok di sekolah SD tak jauh dari kontrakan kami. Meskipun penghasilannya tidak tetap tapi kisarannya bisa ditebak, sekitar seratus dua ratus ribu sehari. Sedangkan suami Risma buka warung ayam bakar dekat pasar. Bahkan, kini warungnya masuk ke aplikasi ojek food. Menurut pengakuannya, penghasilan yang dimilikinya besar. Cuma aku heran saja, jika besar, kenapa masih mengontrak rumah?

“Bojomu suruh ganti profesi aja jeng,” kata Inyah. Risma mengamini ucapan Inyah.

“Aku udah bilangin. Mas Yanto nolak. Katanya, satu-satu keahlian yang dia punya itu hanya menulis,” sahutku.

“Nulis opo jeng? Novel, cerpen?” tanya Inyah.

Aku mengedikkan bahu. Mas Yanto tak pernah cerita. Aku bahkan tak tahu karya tulis buatan Mas Yanto.

Tak lama kemudian, Mas Yanto pulang ke kontrakan. Aku pun pamit pada kedua kawanku. Mereka hanya tersenyum.

“Mas,” kataku dari belakang Mas Yanto, “Kopi apa teh?”

“Ngapain kamu sama mereka berdua, ngomongin aku ya?”

“Nggaklah, Mas. Mereka cuman cerita tentang pekerjaan baru Mas Junet sama Mas Warso.”

“Hmm,” Mas Yanto meletakkan jaket ojolnya di cantelan baju, “Terus, habis itu pasti ngomongin aku, kan?”

“Dih GR!”

“Biasanya, perempuan kalau bertemu semua rahasia dunia akan terkuak!”

“Udah ah, Mas,” kataku menghindari pembicaraan, “Kamu mau teh apa kopi?”

“Kopi aja.”

Aku masuk ke dalam membuatkan secangkir kopi kepada Mas Yanto. Saat ini ia sedang menyesap rokoknya.

“Mas, kopinya,” kataku meletakkan kopi di hadapannya.

Ketika aku hendak kembali ke belakang, Mas Yanto memintaku duduk di depannya. Dari tas kecilnya, ia mengeluarkan dua buah amplop coklat dan menyerahkan padaku.

“Apa ini Mas?” tanyaku.

“Kerja kerasku terbayar. Dua naskahku tembus penerbit mayor dan akan dicetak bulan depan. Hari ini aku ke penerbit dan mendatangani perjanjian penerbitan.”

“Alhamdulillah.” Aku langsung memeluk Mas Yanto. Kebahagiaan serta keharuan muncul dari dalam sanubariku.

“Iya, alhamdulillah,” katanya, “Tapi...”

“Kenapa Mas?” tanyaku saat melihat Mas Yanto menghentikan ucapannya.

“Kita akan putar duit ini dengan buka usaha laundry. Duit ini bakal jadi mesin cuci.”

Aku terkekeh. “Mau buka dimana Mas? Kita kan cuman punya modal duit ini aja, ya kan?”

“Usaha laundry ini akan kita jalani di rumah ini. Aku akan cari pelanggan – membawa cucian kotor dan mengantarkannya lagi jika sudah rapi. Disamping itu, aku akan melanjutkan usahaku – ngojek dan nulis. Mudah-mudahan rencana ini berjalan!”

“Oke, aku setuju!” sahutku.

Kemudian, aku kembali ke belakang, menyimpan duit itu di dalam lemari. Semangat yang selama ini meredup perlahan-lahan bangkit. Aku melihat apa yang Mas Yanto lihat. Mudah-mudahan ini langkah baru bagi kami untuk jadi lebih baik.

[Khatam]

0 $type={blogger}:

Posting Komentar