Blog tentang cerita dongeng anak-anak, cerita pendek (cerpen) remaja - dewasa, dan penulis cerita terkemuka di dunia.

Senin, 10 Agustus 2020

Perempuan-perempuan

Kupandangi terus weker kecil berwarna biru itu dalam diamku yang mengeluh. Resah di dalam waktu yang angkuh. Hening. Hanya bunyi detik weker itu yang mampu mempermainkan perasaanku yang galau. Waktu terasa berjalan lama sekali, tersendat-sendat. Dia yang telah pergi menjelmakan bayangan dirinya di dalam pikiranku. Utuh.

Entah, kenapa aku masih saja memikirkannya, mengimajinasikannya hadir di sini. Bersamaku. Duduk berdua menonton sunset yang perlahan memudar di ufuk barat. Duduk berdua, bercanda dan tertawa bersama. Duduk berdua kemudian berdiskusi  tentang hidup. Duduk berdua, hanya duduk berdua dan diam. Menikmati semua nuansa kebersamaan, melewati detik-detik waktu yang tengah berlari berkejaran memenuhi impian. Entahlah, aku tak tahu mengapa ini? Semuanya seperti mimpi. Membuat aku jatuh, hilang dalam bayangan yang kuciptakan sendiri.

“Kamu nggak bohong dengan kata-kata kamu itu kan?” Tanya Anggie, seorang perempuan berambut cepak, kepada Randy.

“Nggak. Iya. Entahlah,” Randy menjawab pertanyaan itu dengan bingung dan suara pelan. Pelan? Perasaannya kacau untuk saat ini. Kali pertama dalam hidupnya ia merasakan hal seperti ini. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan. Sesuatu yang sulit ia katakan dan ungkapkan kepada siapapun termasuk Anggie, pacarnya.

“Kenapa?” Tanya Anggie lagi. Namun Randy tetap pada sikapnya saat ini, diam seribu bahasa. Tanpa tergerak sedikitpun dari duduknya. Tanpa menatapnya. Matanya mengawang sampai pada titik terjauh yang mampu dijangkaunya, itupun kosong. Di pikirannya Randy terbayang sesosok perempuan.

Anggie merasakan sesuatu yang tak biasanya terjadi pada Randy. Beberapa hari ini Randy yang selalu tertawa bersamanya menjadi seorang sering diam. Diam. Diam. Berkata. Diam. Dan diam. Membuatnya tak mampu lagi menahan siksa sikap yang diberikan Randy kepada dirinya, ia mencoba untuk meraba-raba apa yang dipikirkan Randy terhadap dirinya. Apakah dia punya suatu kesalahan? Apa sekarang dia sudah tidak cantik lagi? Apakah cintanya kepada dirinya sudah menyusut? Tak satu rabaan itu berhasil menjangkau apa yang ada di pikiran Randy. Anggie mencoba menenangkan pikirannya yang terus berkecamuk. Namun tak bisa.

“Katakanlah sesuatu!” Anggie mulai berkata lagi dengan sedikit memaksa karena emosinya lepas kontrol. Randy pun memberikan tanggapan, ia menatap wajah Anggie yang memelas minta dikasihani. Emosi Anggie mulai memadam. Dibelainya rambut Anggie yang cepak itu oleh Randy, kemudian Randy mendekatkan kepala Anggie didadanya. Anggie merasa nyaman dalam posisi seperti itu, ia seperti kehilangan kemarahannya yang bertubi-tubi tadi. Randy tahu ini tak adil untuk Anggie, setidaknya perempuan itu tak boleh menjadi korban atas sikapnya yang konyol. “Katakanlah sesuatu sayang!” dengan lembut dan penuh kasih sayang Anggie berkata lagi, “ada apa dengan dirimu belakangan hari ini?!”

Randy masih diam seperti tadi. Lalu ia menggelengkan kepalanya dan sebentar kemudian memandangi wajah Anggie yang masih menatapnya dengan penuh harapan, meminta penjelasan yang harus dijawabnya sekarang. Ia mengerti sekali tatapan itu, tatapan yang membuatnya tak bisa mengelak lebih jauh lagi tentang sikap diamnya beberapa hari belakangan. Sebenarnya sudah lama ia ingin bercerita, namun urung selalu disimpannya niatnya itu. Tapi sekarang hatinya sudah bulat buat bercerita.

Dulu seorang perempuan datang. Dia mencintaiku, pelahan. Pelahan, aku juga mencintainya. Laksana merpati-merpati yang terbang merendah di sore hari bercengkrama memadu kasih. Jiwaku berbunga. Laksana taman-taman firdaus di bawah langit. Untuk kali pertama dalam hidupku. Perempuan menjadi matahari yang menyinari gelap hatiku. Menanam bibit mawar terindah yang tak terlukis keindahannya. Memahat namanya di pangkal hatiku. Dia cinta pertamaku. Aku cinta pertamanya.

Namun pagi berlalu saat waktu menyeret ke hujung senja. Angin menjadi topan, meniup perasaan cintaku dengannya. Dia pergi, entah kemana. Diriku menjadi sunyi, namun urung aku membuang cintaku lantaran aku memang mencintainya. Dulu, aku paling benci dengan sebuah keromantisan. Picisan, bagiku. Terlalu berlebih-lebihan. Tapi, sekarang aku menikmatinya, bahkan mencintai keromantisan. Semenjak kesunyiannya hadir melekat penuhi hatiku.

Lantas aku menghilang. Jiwaku pudar. Lenyap. Menyesap pergi tinggalkan aku sendiri di sini. Bersama sepi. Tercipta sunyi yang panjang. Aku telah tersesat jauh. Terlalu jauh. Tertatih-tatih berjalan. Yang aku sendiri tak tahu arahnya. Cintaku. Oh, perempuanku. Aku harus bagaimana? Bertanya menyusup dikerongkongan yang tak pernah kering akan kata-kata untuknya. Aku takut kau menjadi susah atas sikap-sikapku.

“Aku tak mau engkau menjadi korban atas sikapku yang konyol,” Randy berujar.

“Kamu mencintainya?” tanya Anggie.

“Ya!”

“Dia telah menyakitimu dengan meninggalkanmu.”

“Dia memang telah menyakitiku dengan meninggalkanku.”

“Lalu?”

“Aku tak bisa melupakannya.”

“Sudahlah lupakan saja.”

“Tidak.”

“Bagaimana bila aku tak menganggap semua itu, dan kau boleh membayangkannya sesukamu. Tanpa perlu.”

“Setelah kudapatkan semua?!”

“Kau telah mendapatkan semuanya bukan?!” 

“Tidak. Itu lebih konyol.”

“Kalau begitu aku pergi.”

“Pergilah.”

“Kau akan menyesal nantinya.”

Maka Anggie pun pergi tinggalkan Randy. Kembali Randy dalam kesendiriannya yang panjang menanti dan menanti perempuannya.

Perempuan yang teramat kucintai. Bagaimana ini semua bisa terjadi. Aku tak tahu mengapa jadi begini. Cerita ini laksana sapuan kuas dari sang pelukis abadi yang menyapukan ke kanvas abadinya. Dimanakah dirimu. Oh, aku rindu kamu, perempuanku. Kemarilah, dan akan kuceritakan sesuatu padamu. Sebentar perempuan lain datang.

4 bulan kemudian …

“Kamu nggak bohong kalau mencintaiku kan?” kata seorang perempuan. Kali ini bernama, Jessyka.

“Nggak. Iya. Entahlah,” jawab Randy pelahan-lahan. Meragu? Perasaannya kacau untuk saat ini? Kali pertama dalam hidupnya ia merasakan hal seperti ini? Sesuatu yang tak pernah ia rasakan? Sesuatu yang sulit ia katakan dan ungkapkan kepada siapapun termasuk Jessyka, pacarnya? Bahkan perempuan-perempuan sebelum Jessyka? Entah itupun tak pernah dimengertinya.

“Kenapa?” tanya Jessyka lagi. Randy bersikap tanpa seribu bahasa. Tanpa bergerak. Tanpa menatapnya. Matanya mengawang sampai pada titik terjauh yang mampu dijangkaunya, itupun kosong. Di pikirannya Randy terbayang sesosok perempuan. Lagi perempuan itu lagi. Tersenyum manis padanya.

Jessyka merasakan sesuatu yang lain terjadi pada Randy. Tak biasanya Randy bersikap seperti itu padanya. Beberapa hari ini Randy menjadi seorang pendiam. Pendiam lagi? Menjadi pendiam untuk menyelesaikan urusannya.

“Tolong beritahu aku ada apa!” Jessyka mulai berkata lagi. Ada balasan, Randy kemudian menatap wajah Jessyka. Dibelainya rambut Jessyka yang panjang terurai, bak gadis sunsilk, oleh Randy, kemudian mendekatkan kepala Jessyka didadanya. Jessyka menjadi nyaman. Randy tahu ini tak adil buat Jessyka, setidaknya perempuan itu tak boleh menjadi korban atas sikapnya yang konyol? “Tolong beritahu aku ada apa dengan dirimu belakangan hari ini!” dengan lembut Jessyka berkata lagi, “kuperhatikan beberapa hari ini kamu tidak seperti biasanya?!”

Randy tetap diam seperti tadi. Sebentar kemudian memandangi wajah Jessyka yang masih menatapnya dengan penuh harapan, meminta penjelasan yang harus dijawabnya sekarang. Ia mengerti sekali tatapan itu, tatapan yang membuatnya tak bisa mengelak lebih jauh lagi tentang kependiamannya belakangan hari ini. Tatapan yang merupakan awal dari sebuah akhiran. Akhir dari hubungan antara dia dengan perempuan-perempuan yang pernah di intiminya.

Kemudian dia bercerita lagi. Tentang perempuannya. Perempuannya yang pergi meninggalkannya. Perempuan yang sangat dicintainya. Perempuan yang entah siapa. Perempuan yang entah nyata. Begitu, dan begitu terus dilakukannya. Mencari, mencari perempuan muda. Mungkin memang dua orang perempuan saja yang terdengar namanya, lainnya menyesap tersembunyi di balik meja, malu mengungkapkan jati dirinya. Setelahnya mereka semua ditinggalkannya begitu saja.

Aku mengenalnya dulu, perempuan yang mampu menggetarkan sanubariku. Perempuan yang sanggup aku cintai. Namun sekarang aku mencintai kesepiannya. Mencintai ketidakhadirannya. Setiap hari. Sekarang dia sudah benar-benar pergi, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa padanya. Dan mungkin takkan pernah kembali lagi. Batinnya meronta.

[Khatam]

(2005)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar