Blog tentang cerita dongeng anak-anak, cerita pendek (cerpen) remaja - dewasa, dan penulis cerita terkemuka di dunia.

Senin, 07 September 2020

Elegi

Aku mau muntah. Sulit bernafas. Selalu saja begini. Serba salah. Melakukan sesuatu yang salah. Huh. Dia pergi meninggalkanku begini. Terkatung-katung. Merana hati ini terpilin sunyi. Rasanya berat kulalui hidup. Apalagi akhir-akhir ini. Patah hati. Patah semangat. Akankah ada penggantinya? Membuatku teringat sepenggal bait lagu yesterday dari the beatles.

Why she had to go
I don’t know
She wouldn’t say

Beberapa kawan dekat yang melihatku dalam kondisi down, menganjurkanku untuk tetap hidup dengan melupakan gadis yang telah pergi itu. “Buat apa menyiksa diri dengan mengenangnya terus?” Demikian mereka berpesan, “kamu tetap ditinggalkan. Lagipun penyiksaan terhadap diri kamu sendiri takkan membuatnya kembali padamu. Tak perlu kamu begini. Ayo bangkit!”

Lalu serangkaian rasa yang menyakitkan menyerangku. Aku patah. Bulu sayapku rebah. Aku ingin mati saja. Begitu pikiranku selalu bergerak. Tiap-tiap usaha yang kulakukan selalu mengarah pada kegagalan semata. Tak pernah satupun berhasil, khususnya usahaku dalam mendapatkan seorang penggantinya—mantan kekasihku yang pergi tanpa kesan dan pesan.

Aku berhasil larut dalam kesedihanku. Membuai segala anganku dalam lelapnya mimpi kemesraan. Semakin kubuang rasa itu, semakin tertekan aku dibuatnya. Dalam ketidaksadaran diriku meraih simpati. Aku memilih sendiri. Mengasingkan tubuh ini untuk menyadari arti. Apalah artinya gadis lain dalam hidupku tanpanya? Tak ada. Hanya kesulitan yang selalu kurasakan. Bukankah Bob Marley telah menghujamkan kata-kata yang baik, No Woman No Cry, tanpa wanita tidak menangis.

Aku berada dalam elegi cinta. Memuaskan hasratku dengan menampar kedua pipiku. Bersembunyi di balik kelam. Mengintip lewat celah kehidupan. Semakin lama membuatku semakin tenggelam oleh perasaan terpendam. Dia belum kembali hingga kini. Semakin lama kucari. Ia semakin bersembunyi.

Seharusnya aku memaki lautan tanpa tepi ini. memuaskan dahaga kesendirian. Aku tak bahagia. Aku sadar. Tapi kutahan semua itu.
Bosan sekali aku hari ini. Melakukan rutinitas seperti biasanya. Hanya saja kali ini lebih buruk. Tanpanya hari-hari suram. Pun ditambah kegiatan yang tak kusenangi. Hah, semua ini membosankan. Tak ada kawan berbagi. Tak ada kawan bicara. Selain selembar kertas, dan imajinasi mimpi. Itulah cerita saya. Seorang meranggas dalam kehidupan ini.

Tiba-tiba saja segala sesuatunya menjadi semakin gelap. Keadaan tak menguntungkanku. Aku tengah berjalan seperti biasa. Sepulang sekolah. Aku menyendiri. Meski kawan-kawan beramai-ramai. Menyibukan diri dengan kisah-kisah kepahlawanan mereka sendiri. Bergurau. Bercanda. Namun aku sendiri. Benar-benar sepi hatiku ini.

**
Menunggu bus di bibir jalan. Masih ada beberapa kawan sekelas yang menyapaku. Ima. Yang berpacaran sama Aldi. Juga Radit yang berpacaran sama Tiesa. Pun serombolan cewek-cewek bawel, yang menasbihkan diri mereka: the cute girls. Duo sahabat Rano dan Iqbal. Dan satu orang cewek bernama Astrid, yang berjalan bersama Metta, Kalam dan Dita.

Untuk gerombolan terakhir. Mereka berhenti. Menyapaku dan berbicara sebentar kepadaku. Meski tak terlalu kutanggapi. Hey, aku sedang patah hati. Jangan ganggu aku okey. Seru hatiku. Obrolan pun terkesan garing. Aku hanya menyahut sekenanya.

Hanya Astrid yang diam saja dari tadi. Ia memang mengamati pembicaraan kami. Tapi dari tadi sedikit kuperhatikan. Ia malah lebih sering menatapku. Melihat sikapku. Yang barangkali terlihat canggung. Atau tak enak. Dan benar saja. Saat metta, Kalam dan Dita menemukan bus yang akan membawa mereka ke rumah masing-masing. Astrid memilih tinggal. Berdua kami duduk membisu di halte. Tak ada kata. Hanya ruang-ruang tanpa makna yang menjalin. Eksistensi kami pun hilang. Segalanya nol besar. Tapi demi menjaga rasa, aku membuka bicara. Tak enak, kawan sekelas tak diajak bicara. Sebut saja begitu.
“Kok nggak ikutan yang lain, Trid?” tanyaku mengawali pembicaraan mencairkan tingkah yang canggung. Entah ada apa.

Astrid hanya menggeleng. “Kamu sendiri?” ia balik bertanya, “kenapa masih di sini?”

Aku bingung mau menjawab apa. Aku tak ingin berbagi. Tak ingin ada seorang pun tahu aku sedang sedih. Aku hanya ingin dia saja yang mengetahui bahwa aku terluka karena cinta. Dan menakjubkannya, aku tak tahu cara menyampaikannya. Dia telah pergi bukan?

Kualihkan saja pembicaraanku. “Lho, rumah kamu deket sama rumahnya Dita kan?”

Ia mengangguk. Seperti menggeleng tadi. Tanpa suara. Lalu ia mainkan kakinya yang bersepatu hitam.

“Eh, itu busku,” kataku, “aku duluan ya?” Cepat-cepat aku ngabur dari pandangan Astrid. Ada yang aneh dengannya.

Sejak kejadian di halte itu.  Selalu saja ada kepingan pertemuan aku dan Astrid. Hampir setiap hari. Seolah telah menjadi rutinitas baru. Saat ke kantor guru mengambil kapur. Saat mau ke WC. Saat mau ke kantin. Saat mau masuk ke kelas. Selalu kulihat dirinya berjalan melintasi ruang kelasku. Semakin hari semakin kutemukan keanehan pada mimik wajahnya. Bukan lantaran ia buruk rupa. Bisa dikatakan Astrid, gadis manis. Walau bukan kembang sekolah. Tapi, ah ini hanya perasaanku saja. Tukasku meyakinkan diri.

Dan ternyata keanehan itu adalah...

Istirahat pagi hari itu, saat aku menyendiri di kantin, Dita segera duduk begitu saja di depanku. Memberikanku selembar kertas yang terlipat rapi. Katanya, “dari Astrid, baca ya.” Lalu ia meninggalkanku yang masih terheran-heran.

Kubuka kertas terlipat itu. Tulisan rapi khas seorang cewek tertera di sana. Kutunggu kamu sepulang sekolah di gerbang depan. Dibubuhi tanda pengirimnya: Astrid. Takut mengecewakannya dan juga ingin mengakhiri semua itu, aku putuskan untuk memenuhi undangannya.
Gerbang sekolah...selepas pulang sekolah.

Aku sengaja menunggu anak-anak yang lain pulang sekolah. Setelah itu, aku menuju gerbang sekolah menemui Astrid. Aku mengerti maksud Astrid. Sesampainya di gerbang sekolah, Astrid telah menungguku. Wajah sendunya melemparkan senyum merekah padaku. Tapi tak kubalas.

Aku celingak-celinguk. “Jangan bicara di sini,” kataku, “kita ke warung itu aja ya.”

Kami memesan minuman yang terdapat di daftar menu. “Ada apa?” tanyaku langsung menuju pokok masalah. Ketika itu, pesanan kami sudah datang. Beberapa menit dan sedotan telah berlalu. Tapi tak kudengar jawaban mengalir dari bibir Astrid.

“Ada apa sih?” tanyaku mengulangi.

Astrid pun masih terdiam seribu bahasa. Aku sadar, jika aku berlaku sikap seperti ini, takkan ada yang diungkapkan dari bibir Astrid.


“Kalau kamu diam begini, lebih baik...” aku hendak beranjak, ketika tangan itu meraih tanganku. Matanya menggambarkan kata, jangan pergi. Aku kembali duduk. Keadaan masih kaku.

Astrid pun masih diam. Mungkin menyusun kata-kata yang dirasanya pas. “Bolehkah aku bertanya padamu?”

“Ya. mengenai apa?”

“Apa kamu masih sendiri?”

Benar dugaanku. Astrid menyukaiku. Aku mengangguk.

“Bener?” yakinnya.

“Iya.” Kata itu melontar keluar dari mulutku.

“Hm, hm, aku... menyukaimu, Wan.” Ia bolak balik menatap ekspresi wajahku dan gelasnya bergantian.

Kumainkan sedotan di gelasku. Kubuat adukan. Sekedar iseng. “terus?” tanyaku pura-pura tak mengerti arah pembicaraan ini.

“Mau nggak kamu jadi pacarku?” kepalanya saat itu langsung tertunduk, wajahnya bersemu merah menahan malu.

Aku biasa saja. Tak ada perasaan apa-apa. Terus terang, aku masih meyakini dia adalah yang terbaik untukku. Dia yang telah pergi tanpa kata-kata. Meninggalkanku begitu saja. Sendiri.

Aku menarik nafas. Menyusun kalimat yang sangat lembut supaya aku tak menyakiti hatinya. “hm, maaf...” tukasku, “aku tak bisa menerima cintamu.” Segera kusedot habis minumanku. Lalu beranjak pergi meninggalkan Astrid yang masih kaku di tempat. Kubayar kedua minuman itu. Lantas keluar dan naik bis pulang ke rumah. Aku tak peduli dengan Astrid yang entah bagaimana. Kupikir ia cewek yang kuat hatinya. Menerima segala kenyataan. Buktinya, aku masih kuat menahan diriku untuk tak terjatuh. Meskipun sudah tak bisa bertemu dia lagi. Ah, aku yakin ia pasti kuat.

Tapi sejak itu, aku tak pernah bertemu lagi dengan Astrid. Kepingan pertemuan kami menghilang. Aku sedikit senang, sampai suatu saat aku merasa aneh. Aku benar-benar menyadari tak melihat Astrid akhir-akhir ini. Sesungguhnya aku tak peduli. Namun, suatu rasa penasaran menggelayuti hatiku. Dita, orang pertama yang kucari untuk menanyakan soal Astrid.

“Dita,” panggilku. Aku berlari ke arah Dita yang berhenti karena panggilanku.

“Ngapain?” nada suaranya terdengar sinis.

“Astrid mana?” tanyaku masih ngos-ngosan.

“Ngapain cari dia?” Lalu pergi meninggalkanku. Ekspresinya terkesan dia marah padaku. Ada apa pikirku?

“Eh, Dit tunggu dulu,” aku memegang bahu Dita yang hendak beranjak pergi, “yah, kupikir sebagai sahabatnya kamu tahu. Dia jarang masuk kan akhir-akhir ini ada apa?”

“Sebagai sahabatnya aku memang tahu dia di mana. Tapi apa pedulimu mengetahui keadaan Astrid?”

Aku bingung mencari pernyataan yang tepat apa peduliku sama Astrid. Tanpa alasan saja. Apa ya? saat kucari-cari, Dita berjalan meninggalkanku. Tapi aku belum menyerah.

“Dit, kamu boleh marah sama aku, tapi nanti aja. Aku cuma pengen tahu kabar dia aja kok?”

Terlihat mimik keseriusan. Dita menghela nafasnya. “Nanti selepas sekolah bisa ikut aku?”

“Kemana?”

“Kita ke rumah Astrid.”

Jujur ada rasa bahagia tersemat dalam hatiku. Tapi kenapa, entahlah.

Di rumah Astrid...

Aku tak tega melihat keadaannya. Ia hanya terbalut kulit kurus kering. Tak ada tanda-tanda semangat dalam dirinya. Dita memberitahu padaku. Setelah aku menolaknya tempo hari lalu. Astrid menjadi sangat drop. Menjadi merana. Sampai ia sakit begini.

Aku menyalahkan diriku. Mengapa terlalu bodoh membiarkan seseorang yang mencintaiku sakit begini. Yah, aku memang selalu melakukan sesuatu yang tak benar. Semuanya selalu serba salah. Dan sebagai bayaran atas kesalahanku. Aku akan berada di sini menemani Astrid, sampai ia benar-benar sembuh. Karena diam-diam aku merasa ingin mengatakan padanya: Apa dia ingin jadi pacarku? Itu saja. (End)

0 $type={blogger}:

Posting Komentar